بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Pasti kalian pernah lihat kan banyak kaum perempuan yang ingin menjadi pemimpin? Misalnya seperti pada Pemilu,Pilkada, atau contoh yang lebih simpel : ketua kelas. Nah,bagaimana hukumnya pemimpin wanita dalam hukum Islam? Berikut uraiannya~
Illustrasi Pemimpin Wanita |
Pemimpin Wanita Menurut Islam
Mayoritas pemikir politik Islam, seperti Al Imam al-Mawardi
Rahimahulloh dalam kitabnya, “Al-Ahkâm Ash-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa
pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu Negara atau
daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun syara’. Menurut akal,
tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin
oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan
hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang
akan menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum).
Sedangkan menurut syara’, kepala Negara atau daerah diperlukan untuk mengatur
masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk
membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses pemilihan
dan suksesi.
Islam dan Kekuasaan
Pemilihan kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah
pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan
main yang ditetapkan oleh Islam.
Di dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara,
agama dan politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena
hidup kita ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal
yang terbesar. Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma
agama termasuk tingkah laku dalam berpolitik.
HR.Bukhari |
Bolehkah Memilih Pemimpin Perempuan Dalam Islam?
Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :
- Tidak
Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik
dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka
adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari
golongan malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (QS. Al-An’aam: 9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang
laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (QS. Yusuf: 109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu
(Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka. “
(QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali
makmumnya juga wanita (berdasarkan Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali)
- Laki-laki
Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin Wanita
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah
tangga, akan tetapi secara logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah
laki-laki, apalagi seorang kepala negara yang notabene sebagai kepala atau
pemimpin dari banyak kepala keluarga lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah
laki-laki.
- “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)Hadits :
شرح السنة للبغوي (10/ 76)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ
كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً».
“Diriwayatkan dari Abu Bakrah,
katanya: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persia
mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung
keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.”
(HR. Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan.
Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan
adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak
diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.
Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan
konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih
terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi
perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut
pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari
kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat
bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih
terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan
luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah
kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita
menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat
menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita
diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan
keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih
longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi
pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau,
kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri
merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana
sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki
kredibilitas untuk menengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia,
(tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka
keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah
diputuskan oleh ijma’, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah
al-kubra).
Sumber : -
Created by : Resita Ghaniya Kusumareda/29
.
0 komentar:
Posting Komentar